TEMUANRAKYAT, JAKARTA – Tokoh lintas agama, Prof. Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis, menilai hubungan antarumat beragama di Indonesia, khususnya antara Islam dan Kristen, mengalami kemajuan signifikan dalam lima dekade terakhir. Menurutnya, kondisi ini menjadi modal penting bagi persatuan bangsa di tengah maraknya konflik berlatar agama.
“Dalam 50 tahun terakhir hubungan antara kami, Katolik maupun Protestan, dengan arus utama Islam semakin baik. Kami bisa berdialog dengan NU maupun Muhammadiyah, dan jika ada persoalan dapat dibicarakan bersama. Itu modal yang sangat penting untuk masa depan Indonesia,” ujar Romo Magnis dalam podcast EdShareOn bersama Eddy Wijaya, yang tayang Kamis (25/9) dikutip temuan rakyat (26/9).
Meski mengakui Indonesia rentan terhadap konflik antaragama, Romo Magnis menilai semangat persatuan bangsa mampu meredam potensi perpecahan. “Indonesia selalu menghadapi ancaman, tapi keluar sedikit lebih baik. Dalam berbagai konflik internal, bangsa ini justru menjadi lebih kuat. Sekarang kita menghadapi banyak masalah, tapi tidak pada soal persatuan,” katanya.
Ia menambahkan, kesadaran tokoh lintas agama sejak lama berperan besar menjaga kerukunan. Tokoh Katolik seperti almarhum Romo Mangunwijaya, juga tokoh Islam seperti Nurcholish Madjid dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), disebutnya telah membangun jembatan kepercayaan antarumat.
“Hubungan tidak boleh win-lose. Harus saling percaya. Itu dibantu oleh banyak tokoh, baik Katolik maupun Islam,” jelas Guru Besar STF Driyarkara tersebut.
Lebih jauh, Romo Magnis menegaskan organisasi Islam arus utama seperti NU, Muhammadiyah, hingga HMI berperan penting dalam menghadapi ancaman ideologi transnasional, seperti ISIS maupun Boko Haram. “Mereka diserang ekstremis karena dianggap bukan Islam yang benar. Tapi justru kesadaran itu memperkuat kerukunan,” ujarnya.
Romo Magnis berharap toleransi tetap dijaga, dan masyarakat tidak mudah mengaitkan setiap insiden dengan isu agama. “Serangan teroris mungkin masih akan ada. Insiden intoleransi pun jangan dibiarkan, tapi juga tidak perlu dilebih-lebihkan. Seringkali alasannya lokal, misalnya perbedaan bahasa atau komunikasi antarwarga,” tutupnya.