TEMUANRAKYAT, JAKARTA – Pagi itu, Jakarta seperti diluruhkan. Jalan protokol yang biasanya ditaklukkan mesin, kini diisi tawa anak-anak, keringat relawan, dan peluh harapan. Mobil-mobil disingkirkan, seolah negara memberi ruang sejenak bagi masyarakat untuk bernapas tanpa knalpot, tanpa klakson, tanpa kekuasaan yang melintas dengan sirine yang membisingkan.
Di situlah saya berdiri, di tengah Car Free Day yang tak biasa. Bukan untuk olahraga, namun menjadi bagian dari ikhtiar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional 2025.
Saya menyaksikan seorang bocah berlari ke arah maskot kuning besar, makhluk lucu yang jadi magnet anak-anak. Di belakangnya, sebuah backdrop biru terpampang dengan berbagai kutipan bijak diantaranya Frant Lebowitz:
“Berpikirlah sebelum berbicara. Membacalah sebelum berpikir.”
Di balik kejenakaan visual itu, ada upaya epistemologis yang serius. Pancasila tidak lagi disajikan dalam rupa diktum legalistik, namun melalui permainan, visual, narasi keluarga, dan tubuh anak-anak. Nilai-nilai tidak dimasukkan ke kepala seperti data ke mesin, tapi dihidupkan dalam tubuh yang bergerak, dalam afeksi yang mengalir.
Kemudian, saya mendekati sebuah permainan ular tangga raksasa. Dadu dilempar, anak-anak melompat dari satu kotak ke kotak lain. Di setiap petaknya, ada pertanyaan sederhana: “Siapa Presiden keempat Indonesia?”, “Apa nama danau terbesar di Indonesia?”, “Apa lambang sila ke-2?”
Permainan ini tentu bukan sekadar edukatif, ini merupakan dekonstruksi atas metode lama. Pancasila yang dulu dijejalkan di ruang kelas yang hening, kini ditemukan di atas bahu jalan, di tengah tawa dan rasa ingin tahu. Ia tak lagi hadir dari atas (top-down), tapi dibangun dari bawah (bottom-up) dari pengalaman tubuh yang bermain, dari interaksi horizontal yang tulus.
Saya mengamati seorang ayah membisikkan jawaban pada putrinya. Mereka tersenyum, saling menatap. Bagi saya, itu bukanlah pengajaran, itu merupakan persatuan. Nilai yang tidak lagi dipaksakan, melainkan tumbuh dalam kepercayaan. Dan saat itulah saya sadar, bahwa Pancasila sedang berubah wujud dari staatsfundamentalnorm menjadi weltanschauung; dari norma dasar negara menjadi pandangan hidup yang dihayati.
Di area lain, saya melihat kerumunan mengular di depan meja permainan kartu dan tanya-jawab kebangsaan. Anak-anak berebut giliran. Beberapa orang tua tampak lebih bersemangat daripada putra-putrinya. Seorang ibu bahkan memotret anaknya yang sedang menjawab soal, seolah ingin mengabadikan momen langka bahwa negara memberi ruang bermain untuk berpikir, dan berpikir sambil bermain.
Lantas saya teringat adagium Paulo Freire bahwa: “Pendidikan sejati ialah praksis pembebasan.” Hari itu saya menyaksikan praksis itu bertunas, tidak dalam seminar atau ruang kelas, tapi di pinggir trotoar, di antara keringat dan tawa hangat.
Anak-anak tidak diposisikan sebagai bejana kosong. Mereka tampil di panggung utama, menari dalam kostum adat, berdoa lintas iman, dan menyanyikan lagu-lagu persatuan. Negara, meski masih terlalu sering hadir dalam bentuk formalistik, hari itu memberi sedikit panggung kepada subjek terkecilnya. Dan itulah yang paling filosofis—memberi tempat pada suara yang paling sering diabaikan.
Setelah itu, saya pulang dengan rasa campur aduk. Mengamati anak-anak berjalan kembali pulang, mendengar derap langkah kaki mereka yang membawa harapan dan kenangan. Disitulah batin saya tak tenang, bukan karena kecewa, namun karena menyadari bahwa perjuangan ini belum selesai.
Pancasila telah lama menjadi dokumen yang diam. Dikelilingi oleh upacara dan pidato, tetapi jarang masuk ke jantung kehidupan sehari-hari. Hari itu, saya melihat upaya untuk mengubah itu. Upaya kecil, nyaris remeh, namun sangat manusiawi. Di tengah hiruk-pikuk identitas dan polarisasi, BPIP mencoba menjadikan Pancasila bukan lagi menara gading, namun rumah kecil tempat anak-anak belajar hidup bersama.
Hari itu, saya tidak sekadar menjadi relawan. Saya menjadi saksi bahwa ada upaya menjadikan ideologi ini bernapas kembali bukan dengan indoktrinasi, namun dengan dialog. Bukan dengan ketakutan, namun dengan kegembiraan.
Dan napas pertama itu, saya dengar bukan dari pejabat di atas panggung, bukan dari pengeras suara atau teks protokoler. Saya menyaksikan anak-anak yang menafsirkan Pancasila dengan cara paling jujur—melalui cinta, melalui empati dan melalui keberanian untuk tidak menyakiti yang lain dalam keragaman aktivitas yang mereka lakoni.
Di atas aspal Jakarta, saya percaya, itulah tempat pertama di mana Pancasila kembali belajar untuk hidup. Bukan untuk sekedar dikenang, tapi untuk dipeluk. Untuk ditanam. Dan suatu hari nanti, untuk dipetik oleh mereka yang saat ini masih bermain dengan ragam permainan sambil berkeluh kesah dan riang gembira.